Ilusi “Techno-Solutionism”


Tulisan ini dimuat di Kolom Opini Harian Pikiran Rakyat, 11 Juli 2022

Beberapa waktu lalu beredar video komedi di Tiktok dengan akun @wawan.saktiawan yang mengeluhkan jika hari ini segala sesuatu harus dibeli menggunakan aplikasi berawalan “My…” jika ingin dilayani penjual: “…. Ya Allah semuanya suruh download aplikasi ini lhoo… besok masuk sekolah harus download aplikasi MySekolah…? Beli nasi pecel harus download aplikasi My Sego Pecel gitu?”. Begitulah komentar satir pada video Tiktok tersebut yang menyindir era platform digital sekarang ini.

Tentu saja, kehadiran video Tiktok ini merespons fenomena MyPertamina sebagai salah satu aplikasi yang mesti digunakan rakyat untuk membeli pertalite dan solar. Kehadiran aplikasi MyPertamina memunculkan berbagai pro dan kontra di masyarakat. Pada satu sisi kehadiran MyPertamina bertujuan untuk mengontrol BBM subsidi yang dinikmati masyarakat supaya tepat sasaran. Namun, di sisi lain kehadiran aplikasi ini dianggap membuat ribet masyarakat, tujuannya belum jelas, dan kapabilitas teknologi yang belum nyaman dari sisi pengguna. Hasilnya sejumlah review nyeleneh dan rating buruk menghiasi laman aplikasi ini di GooglePlayStore (Pikiran Rakyat, 3 Juli 2022).

Perkembangan teknologi digital membuat masyarakat diminta (atau dipaksa) untuk beradaptasi dengan transformasi digital di segala sektor. Beberapa tahun lalu kita mungkin saja belum terbiasa membayar secara cashless, tapi kini di pasar rakyat atau warung kaki lima sekalipun bahkan sudah tersedia pembayaran melalui berbagai kode QR. Pada era sekarang ini, teknologi digital dianggap sebagai messiah akan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat.

Kecenderungan munculnya berbagai aplikasi, website, dan platform digital membuat arah kebijakan penyelesaian masalah yang ada di masyarakat berujung ke arah yang disebut sebagai “techno-solutionism”. Pandangan “techno-solutionism” yang ditulis oleh Evgeny Morozov pada buku To Save Everything, Click Here: The Folly of Technological Solutionism (2013) menjelaskan tentang bagaimana munculnya kecenderungan akan berbagai solusi berbasis teknologi untuk memecahkan kompleksitas masalah yang ada di masyarakat. Meskipun pada era sekarang ini hal-hal seperti pemanfaatan data, aplikasi digital, artificial intelligence (AI) bukan merupakan suatu hal yang aneh, akan tetapi tentu saja teknologi digital bukanlah “sang juru selamat” itu sendiri.

Pada bukunya penulis-cum-aktivis Astra Taylor yang berjudul “The People’s Platform: Taking Back Power and Culture in the Digital Age” (2014) menjelaskan bahwa kehadiran berbagai platform digital ini tak semata-mata dengan mudah dan ajaibnya akan menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat. Ternyata kehadiran akan berbagai platform digital ini juga memunculkan persoalan-persoalan baru lainnya seperti munculnya kesenjangan, kompetisi, relasi kuasa, dan praktik perburuhan digital (digital labourship). Beberapa waktu lalu saja sempat viral kisah tentang driver ojol yang meninggal karena kecapekan, atau betapa hebohnya beberapa start-up yang memecat ratusan karyawannya. Pada satu sisi, platform digital memberikan harapan baru. Akan tetapi, di sisi lainnya, kehadiran platform digital ini menjadi suatu “ilusi” di masyarakat.  

Ilusi

Ilusi akan “techno-solutionism” didasarkan pada kehadiran berbagai teknologi digital yang dianggap sebagai cara untuk menyelesaikan masalah secara cepat namun pada kenyataannya juga ternyata menciptakan berbagai ilusi baru yang ada di masyarakat. Seolah-olah masyarakat “dibutakan” bahwa penyelesaian masalah yang didasarkan pada prinsip-prinsip “techno-solutionism” merupakan cara yang tepat dan efektif. Karena teknologi digital ini dianggap membawa nilai-nilai baru dan revolusioner seperti akses dan demokratisasi, efisiensi, efektivitas, dan transparansi. Sehingga muncul ilusi bahwa teknologi digital adalah solusi yang cepat dan tepat untuk segala masalah yang ada di masyarakat. Meskipun pada kenyataannya mungkin saja bahwa solusi-solusi yang ada merupakan penyelesaian masalah yang bersifat temporer, hanya mengikuti tren, dan tanpa menyelesaikan akar masalahnya. Tidak semua masalah masyarakat bisa diselesaikan dengan membuat aplikasi digital.

Contohnya, kehadiran aplikasi streaming digital yang dianggap revolusioner di ranah di industri musik, karena dianggap sebagai suatu akses dan demokratisasi musik, nyatanya juga menjadi ilusi karena menimbulkan kesenjangan ekonomi di mana bagi para musisi kecil tidak pernah mendapatkan royalti yang layak pada platform streaming ini. Ataupun bagaimana relasi kuasa terjadi sehingga para driver ojol mesti bekerja tak kenal waktu karena biaya atau fee yang makin kecil. Dan tak bisa kita pungkiri lagi, sejumlah ilusi-ilusi akan platform digital ini membuat kita tutup mata akan problem yang sebetulnya terjadi di masyarakat.

Ketika muncul kecenderungan akan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berorientasi pada prinsip “techno-solutionism” maka pemerintah perlu berhati-hati agar tidak terjebak pada berbagai ilusinya. Namun, meski kita perlu kritis dengan berbagai kebijakan berorientasi “techno-solutionism” bukan berarti kita mesti menjauhi teknologi digital sebagai salah satu sarana baru yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah yang ada di masyarakat. Karena, tak bisa dipungkiri lagi bahwa teknologi digital adalah suatu keniscayaan dan kita sedang berada di gerbang menuju gerbang revolusi industri digital kedepannya.

Teknologi digital mesti selaras dengan kebutuhan manusianya. Muncul istilah Human-Centered-Design yang merupakan suatu prinsip bahwa penyelesaian masalah itu mesti dilihat dari sudut pandang pengalaman manusianya sebelum memahami dari berbagai kapabilitas teknologinya. Sehingga, dari sudut pandang tersebut bahwa di tengah-tengah perkembangan teknologi digital yang kian tak terbendung, segala hal yang harus dipahami dalam membuat kebijakan berbasis teknologi adalah kesadaran bahwa manusianyalah sebagai pusat dan yang harus kita pahami adalah manusianya atau masyarakatnya itu sendiri. Bukan kecanggihan berbagai fitur teknologi digitalnya.

***


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *